Tuesday, April 7, 2009

Dampak Kebijakan Deregulasi Penerbangan

BAB I



PENDAHULUAN




<!--[if !supportLists]-->
A.
<!--[endif]-->LATAR BELAKANG



Kebijakan 'A Multi Airlines System', kebijakan yang memberi kesempatan kepada pihak swasta untuk ikut berusaha di bidang usaha angkutan udara komersial, dicanangkan pemerintah pada tahun 1968. Bersamaan dengan itu telah pula ditetapkan sejumlah Keputusan Menteri Perhubungan yang dimaksud untuk mengatur 'aturan main' industri angkutan udaranya. Namun, disebabkan peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan menteri yang ditetapkan pada awal 1970 itu didasarkan pada paradigma atau pola pikir yang tidak relevan bahkan tidak rasional itu, maka hal ini telah mengakibatkan peraturan-peraturan itu menjadi tidak efektif, atau sulit dilaksanakan karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan-perkembangan yang terjadi di lapangan.



Sebagai contoh, struktur industri penerbangan di pilah-pilah atau dikelompokkan antara yang satu dan lainnya menurut kriteria yang ditetapkan untuk rute penerbangannya. Misalnya rute utama, yakni sejumlah sektor penerbangan yang hanya boleh dilayani atau diterbangi oleh pesawat udara milik Garuda. Kedua, rute daerah, yakni sektor-sektor rute penerbangan yang dilayani oleh Garuda bersama dengan penerbangan Merpati Nusantara sebagai pelengkap. Selanjutnya rute perintis yang baru diperuntukkan bagi perusahaan penerbangan swasta bersama Merpati atau mengatasnamakan Merpati.



Analog dari kebijakan tersebut, yang jelas tidak atau sulit diterima oleh nalar rasional, tentunya tidak bagi mereka yang memahami kinerja teknis operasional dan ekonomi operasi pesawat udara, maka pada sektor-sektor yang menghubungkan ibukota Jakarta dan ibukota propinsi hanya akan dilayani oleh Garuda sebagai single carrier atau monopoli, sedang pada sektor-sektor daerah dan perintis dimana potensi muatannya yakni penumpang dan barang, relatif belum berkembang itu, malah dikembangkan suatu iklim persaingan. Karena kebijakan semacam ini berdiri di atas pondasi yang sulit diterima oleh nalar rasional itu, telah mengakibatkan tidak diikutinya oleh beberapa perusahaan milik swasta.



Kebijakan deregulasi ekonomi pada umumnya, dan bidang penerbangan khususnya, telah berdampak positif. Misalnya pada peningkatan yang sangat subtansial pada jumlah penumpang yang menggunakan sarana angkutan udara sebagai sarana angkutannya. Sebaliknya, bila kita cermati kebijakan deregulasi kebijakan penerbangan di Indonesia malah telah berdampak negatif, seperti terjadinya persaingan bebas dengan menyerahkan segala aturannya pada mekanisme pasar yang selanjutnya terjadi 'cut-throath competition' yang akhirnya 'memotong' lehernya sendiri.



<!--[if !supportLists]-->B. <!--[endif]-->PERMASALAHAN





Terkait dengan kebijakan deregulasi penerbangan yang digulirkan pemerintah awal 1999 terdapat beberapa masalah yang dapat kita cermati, antara lain sebagai berikut :



<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Keselamatan penumpang yang tidak terjamin



<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Pengaruh terhadap bisnis angkutan darat dan laut





BAB II



PEMBAHASAN




<!--[if !supportLists]-->
A.
<!--[endif]-->TINJAUAN TEORITIS



Deregulasi adalah kegiatan atau proses menghapuskan pembatasan dan peraturan. (kamus besar bahasa indonesia, Balai Pustaka)



Inti masalah ekonomi adalah terletak pada keterbatasan sarana (sumber-sumber ekonomi) untuk memenuhi kebutuhan hidup yang hampir tak terbatas, serta bagaimana cara untuk menyelesaikan “ketidakseimbangan antara jumlah barang/jasa dan kebutuhan tersebut”. Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut terjadi kegiatan ekonomi meliputi konsumsi, distribusi, dan distribusi. Semakin maju kehidupan suatu masyarakat, akan semakin beraneka ragam kebutuhan hidup yang muncul serta aktivitas ekonomi yang terjadi.



Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi tersebut, digunakan dua pendekatan ekonomi, yakni secara makro dan secara mikro. Ekonomi makro mempelajari fungsi-fungsi ekonomi secara keseluruhan, diantaranya menganalisa inflasi, menentukan pertumbuhan ekonomi, menganalisa pengangguran, perputaran uang dan lainnya. Sedangkan ekonomi mikro mempelajari prilaku ekonomi dari setiap unit pengambilan keputusan secara individu seperti menentukan bagaimana tingkah laku konsumen dalam bereaksi terhadap kenaikan harga, menentukan reaksi produsen dalam proses produksi, dan lainnya.



Dalam proses selanjutnya, kegiatan ekonomi mikro terfokus pada bagaimana produsen menyediakan barang/jasa dan konsumsi konsumen atas barang/jasa yang telah diproduksi melalui pasar.



Permintaan adalah keseluruhan barang/jasa yang akan dibeli atau diminta di suatu pasar pada waktu tertentu dengan berbagai tingkat harga. Permintaan terdiri atas permintaan efektif dan permintaan absolut. Permintaan efektif adalah permintaan yang berdaya beli, permintaan absolut adalah permintaan yang tidak berdaya beli. Hukum permintaan “Makin rendah tingkat harga, makin banyak jumlah barang yang akan diminta, sebaliknya makin tinggi tingkat harga, makin sedikit jumlah barang yang diminta.



Penawaran adalah jumlah barang pada suatu pasar yang ingin dijual oleh penjual pada suatu saat tertentu dengan berbagai tingkat harga. Hukum penawaran “makin rendah tingkat harga makin sedikit jumlah barang yang ditawarkan, sebaliknya makin tinggi harga makin banyak jumlah barang yang ditawarkan.



Pada proses jual beli, terjadi proses tawar menawar antara penjual dan pembeli. Penjual menghendaki harga yang tinggi, sebaliknya pembeli menghendaki harga yang rendah. Tingkat keseimbangan antara permintaan dan penawaran disebut harga keseimbangan.



Elastisitas permintaan adalah perbandingan perubahan jumlah permintaan barang sebagai akibat dari perubahan harga.



Elastisitas penawaran adalah perbandingan antara seberapa besar perubahan jumlah barang yang ditawarkan sebagai akibat dari perubahan harga.






<!--[if !supportLists]-->B. <!--[endif]-->ANALISA EKONOMI




Kebutuhan akan jasa penerbangan merupakan jasa yang bersifat elastis, artinya jumlah yang diminta mempunyai respon yang lebih besar terhadap perubahan harga. Dengan kata lain perubahan harga yang sedikit saja akan berpengaruh terhadap permintaan jasa tersebut di pasar.





Apabila digambarkan dalam grafik sebagai berikut :





<!--[if !vml]-->
<!--[endif]-->



Keterangan :



Pada saat harga tiket pesawat adalah P, jumlah permintaan terhadap tiket adalah Q, terjadi pergeseran di sepanjang kurva permintaan ketika harga turun dari P ke P1 mengakibatkan jumlah permintaan terhadap tiket meningkat dari Q ke Q1.



Kurva penawaran mengalami pergeseran dari S ke S1, bergesernya kurva penawaran ke kiri berarti jumlah penawaran terhadap tiket pesawat terbang mengalami peningkatan.



Keseimbangan yang tercipta pada titik E disebabkan oleh harga tiket pada titik P dan jumlah permintaan terhadap tiket pada titik Q. Tingginya harga tiket pada harga keseimbangan disebabkan belum adanya kebijakan deregulasi penerbangan, jumlah penyedia jasa penerbangan pun masih sangat terbatas, sehingga harga yang ditawarkan terhitung sangat tinggi serta hanya mampu dijangkau oleh golongan tertentu saja. Keseimbangan pada titik E1 menggambarkan jumlah penawaran dan permintaan yang terjadi akibat harga yang turun dari P ke P1 serta jumlah permintaan yang meningkat dari Q ke Q1. Faktor yang menyebabkan bergesernya kurva penawaran dari S ke S1 dan pergeseran dalam kurva permintaan adalah kebijakan deregulasi penerbangan yang secara tidak langsung telah membuka persaingan dalam bisnis penerbangan. Oleh karena makin bertambahnya jumlah pemain dalam bisnis ini mengakibatkan terjadi persaingan harga antar pemain, yang oleh karenanya berpengaruh terhadap harga jual tiket pesawat, dari harga yang relatif mahal turun menjadi relatif lebih murah sehingga jumlah permintaan terhadap tiket pesawat terbang pun meningkat.



deregulasi penerbangan telah melahirkan kesempatan bagi pemain-pemain baru dalam bisnis ini untuk bersaing, mulai tahun 1999 sejalan dengan era reformasi di negeri, telah lahir perusahaan baru angkutan udara berjadwal yang jumlahnya kian banyak. jika sebelumnya jumlah maskapai penerbangan berjadwal yang mengisi lalu lintas penerbangan dalam negeri sekadar tujuh perusahaan (Garuda Indonesia, Merpati, Mandala, Bouraq, Bayu, Sempati, Pelita), sejak tahun 2000 bertambah dan kini tercatat sedikitnya ada 29 perusahaan. Kebijakan deregulasi penerbangan yang membebaskan tarif batas bawah penerbangan telah membuat maskapai seolah berpesta ria dengan mengundang pengguna jasa dalam gelaran tarif murah-meriah yang selanjutnya memicu berlangsungnya "perang tarif" jasa udara. Melalui pesta tarif murah yang diikuti dengan dengan diskon dan potongan harga yang besar tersebutlah yang mendorong terjadinya pertumbuhan penumpang udara secara besar-besaran.



Pengaruh lain dari diberlakukannya deregulasi penerbangan oleh pemerintah adalah Keselamatan penumpang yang tidak terjamin, dan Pengaruh terhadap bisnis angkutan darat dan laut.



Untuk permasalahan yang pertama, perkembangan tersebut membawa beberapa persoalan terkait keselamatan penumpang, yakni terjadinya kecelakaan pesawat yang dalam setahun terakhir ini, membuat banyak pihak bertanya: apa yang salah dengan penerbangan kita? Apakah masalah keselamatan sudah dikorbankan untuk mengejar biaya murah?



Masalah keselamatan merupakan faktor utama setiap penerbangan. Keselamatan ini bergantung pada berbagai faktor, baik kondisi pesawat, kondisi awak pesawat, infrastruktur, maupun faktor alam. Yang sering mendapatkan sorotan adalah faktor kondisi pesawat. Ada pendapat dari sebagian kalangan, kondisi pesawat dari berbagai penerbangan domestik tidak terjaga dengan baik. Ini dilakukan untuk menekan biaya operasional, terutama dalam menghadapi persaingan yang ketat. Kondisi pesawat bergantung pada perawatan yang dilakukan. Sementara itu, perawatan yang diperlukan bergantung pada umur sebuah pesawat. Secara teoretis, umur suatu pesawat akan kembali menjadi nol setelah menjalani perawatan besar. Semakin tua suatu pesawat, biaya perawatan yang perlu dikeluarkan menjadi lebih tinggi pula. Selain itu, pesawat yang lebih tua memerlukan pemeriksaan yang lebih teliti. Studi dari Hansson (2004) memperlihatkan bahwa penggunaan pesawat dengan umur kurang dari 5 tahun dapat menurunkan biaya perawatan hingga 60 persen dari pesawat berumur lebih dari 20 tahun.



Biaya perawatan pesawat merupakan salah satu pos biaya yang cukup besar dalam operasional penerbangan, mencapai 12-20 persen. Dengan penghematan biaya perawatan tersebut, biaya operasional juga akan turun secara cukup signifikan. Sayang, kebanyakan pesawat yang saat ini digunakan oleh maskapai penerbangan domestik adalah pesawat yang sudah cukup berumur, bahkan banyak yang sudah beroperasi lebih dari 20 tahun.





Selain faktor kondisi dan perawatan pesawat, kualitas sumber daya manusia memegang peran penting. Manusia yang terlibat dalam sebuah penerbangan bukan hanya pilot pesawat, melainkan juga petugas lain, termasuk yang bertanggung jawab dalam penanganan dan pemeriksaan pesawat di antara penerbangan. Perkembangan industri penerbangan saat ini tidak diikuti dengan perkembangan sumber daya manusia yang mencukupi. Saat ini hanya ada beberapa sekolah menengah dan tinggi penerbangan, yang metode pengajarannya sering tidak dapat mengejar perkembangan teknologi yang ada.



Akibatnya, Indonesia saat ini hanya memiliki sedikit teknisi pesawat yang mempunyai cukup pengetahuan tentang teknologi dirgantara yang semakin berkembang. Faktor keselamatan pesawat sekali lagi dapat terancam akibat lemahnya pengetahuan teknisi pendukung penerbangan ini. Seiring dengan perkembangan transportasi udara di masa mendatang, Indonesia harus segera menyiapkan sumber daya manusia yang dibutuhkan.



Untuk permasalahan kedua, terkait kebijakan deregulasi penerbangan dan dampaknya terhadap mode tranportasi darat dan laut dapat kita lihat bersama, saat ini dengan harga yang relatif sama kita dapat menikmati jasa penerbangan untuk melayani keperluan kita. Sebagai gambaran mengenai perbedaan harga tiket pesawat dengan mode kendaraan darat atau laut sebagai berikut : jika orang dari Sumatra Utara biasanya ke Jakarta atau kebalikannya, menggunakan kapal laut dari pelabuhan Belawan dengan ongkos Rp 350 sampai Rp 500 ribu, menempuh perjalanan dua malam tiga hari di atas laut, tentu saja akan memilih terbang dengan ongkos yang tidak jauh berbeda. Jika dari Jakarta ke Surabaya atau sebaliknya ongkos terbang cukup dengan Rp 270 - 300 ribu, bukankah Anda akan memilih pesawat terbang ketimbang kereta api yang bedanya sekadar 20 atau 30 ribu rupiah saja? Antara Surabaya dan Banjarmasin atau antara Jakarta dan Pontianak, segmen konsumen kapal laut telah disedot oleh kapal udara. Antara Medan dan Jakarta, segmen konsumen angkutan bus telah disedot oleh kapal udara.



Gambaran situasi itu menjelaskan, telah terjadi market shifting atau pergeseran pasar dari pasar moda transportasi darat dan laut ke transportasi udara. Disatu sisi bagi konsumen tentunya ini sangat menguntungkan karena dengan biaya relatif murah dapat menikmati penerbangan, namun bagi bisnis transportasi lain, tentunya amat dirugikan. Karena konsumen tradisional mereka telah beralih dari memilih jasa transportasi darat atau laut ke transportasi udara.






BAB III



PENUTUP





<!--[if !supportLists]-->A. <!--[endif]-->KESIMPULAN



Berdasarkan uraian mengenai kebijakan deregulasi penerbangan di Indonesia, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :



<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Kebijakan deregulasi penerbangan yang telah diterapkan di indonesia telah meningkatkan gairah penerbangan nasional



<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Masyarakat dapat menikmati jasa penerbangan dengan biaya yang relatif terjangkau



<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Dampak negatif dari diberlakukannya kebijakan deregulasi penerbangan adalah kurang diperhatikannya faktor keselamatan penumpang oleh penyedia jasa penerbangan, yang hanya lebih mementingkan profit saja



<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Akibat murahnya tarif pesawat terbang menyebabkan beralihnya konsumen dari menggunakan jasa transportasi darat atau laut ke transportasi udara, sehingga menyebabkan lesunya mode transportasi tersebut.







<!--[if !supportLists]-->B. <!--[endif]-->SARAN



Berdasarkan uraian mengenai kebijakan deregulasi penerbangan di Indonesia, dapat penulis berikan beberapa saran sebagai berikut :



<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Untuk meningkatkan jasa penerbangan sebaiknya pemerintah, melalui departemen perhubungan lebih meningkatkan pengawasan terhadap kualitas maskapai penerbangan.



<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Jasa pelayanan transportasi darat dan laut sebaiknya meningkatkan pelayanan agar tidak terus tertinggal oleh transportasi udara



<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Pemerintah harus memperhatikan sarana dan prasarana transportasi darat, berupa jalan.



<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Sebaiknya perang harga antar penyedia jasa penerbangan sebaiknya dihentikan dan lebih memfokuskan pada perawatan dan perbaikan pelayanan penerbangan





DAFTAR PUSTAKA






Boediono, DR, Ekonomi Mikro, BPFE, Yogyakarta, 1982



Rasjidin Rusdi, Drs , Pelajaran Ekonomi untuk SMU, Yudhistira, 1997



Tempo, Industri Penerbangan dan Keselamatan Penumpang, online diakses 5 April 2006 (http://www.tempointeraktif.com/



Angkasa On line, Privatisasi, Deregulasi dan Konsolidasi, online diakses 5 April 2006 (http://www.angkasa-online.com)










1 comment:

  1. Mas boleh minta tolong tampilij grafiknya ga ?
    atau kirim ke email saya yudistiravedo@yahoo.com
    PENTING mas, terima kasih.

    ReplyDelete