Tuesday, April 7, 2009

Mensiasati Perubahan Budaya dalam Kehidupan bermasyarakat

BAB I
PENDAHULUAN

MASALAH
Manusia sebagai subjek dan objek dalam ilmu antropologi adalah mahluk yang unik. Menjadi subjek karena yang melakukan penelitian, kajian serta sebagai pelaku kegiatan dalam bidang ilmu antropologi adalah manusia. Menjadi objek karena manusia jugalah yang dijadikan sebagai sasaran penelitian dan kajian keilmuan. Seluruh aspek kehidupan manusia baik lahir maupun batinnya merupakan lapangan penelitian yang bisa dikembangkan dalam ilmu antrpologi.
Sebagai subjek dan objek dalam Antropologi, manusia merupakan mahluk yang unik, karena memiliki perbedaan dibanding mahluk hidup lainnya. Selain memiliki ciri mahluk hidup secara umum, yakni menerima makanan, berkembang biak, berpindah tempat, mengamati dan memiliki nafsu, juga memiliki kecerdasan dan kemauan yang tidak dimiliki oleh mahluk lain.
Dalam menggunakan seluruh kecerdasan dan kemauannya itu manusia menciptakan budaya, yang didefinisikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Dalam kondisi zaman yang senantiasa berubah dan terus akan berjalan, maka manusia akan selalu mengalami proses belajar dan pembelajaran termasuk didalamnya terjadi perubahan kebudayaan. Perubahan budaya terjadi melalui 2 hal yaitu berasal dari dalam dalam dan dari luar manusia itu sendiri. Dari dalam (intern) bila terjadi perubahan pola pikir dari manusia itu sendiri sebagai pencipta budaya, dari luar (ekstern) jika terjadi suatu kondisi yang tidak dikehendaki oleh manusia.
James Spradley, dengan teori perubahan budaya mengungkapkan 6 hal yang berhubungan dengan perubahan budaya, yakni sebagai berikut :
1. Setiap kebudayaan terdiri dari pengkategorisasian yang dapat dipakai untuk menyeleksi dan mengklarifikasi pengetahuan.
2. Manusia belajar berprilaku dan aturan yang baik.
3. Manusia menggunakan pete pengetahuan yang dapat dipakai untuk menginterpretasikan prilaku dan kejadian yang diamati.
4. Manusia menggunakan rencana untuk mengorganisasikan prilakunya pada tujuan yang diinginkan.
5. Sistem pengkategorisasian pada setiap budaya berdasarkan seleksi atribut tertentu.
6. Mereka menyeleksi dan memberi tanda dengan bahasa.

POKOK MASALAH
Dari uraian mengenai perubahan budaya dalam masyarakat, yang sebelumnya diadakan observasi lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang tanggal 14 mei 2005, dapat ditarik beberapa masalah yakni :
Kondisi lingkungan yang cenderung tidak kondusif
Kondisi internal manusia yang tidak stabil
Akibat-akibat yang ditimbulkan
Dari ketiga masalah yang diungkapkan diatas dapat dirumuskan masalah pokok yaitu “Bagaimana Manusia Beradaptasi Terhadap Perubahan Budaya Yang Terjadi Dalam Masyarakat”.

BAB II
OBSERVASI

GAMBARAN UMUM LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA TANGERANG
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang adalah salah satu lembaga pemasyarakatan wanita di indonesia dari tiga lembaga lain yang berada di Medan, Semarang, dan Malang. Lapas Wanita Tangerang didirikan pada tahun 1977 dan mulai difungsikan pada tanggal 5 pebruari 1981, lapas wanita tangerang merupakan pindahan dari lapas wanita Bukit Duri-Jatinegara Jakarta.
Luas tanah lapas wanita tangerang seluruhnya 78.200 m2, dan yang dipergunakan untuk bangunan dan kegiatan lainnya dalam lapas seluas 16.900 m2. luas untuk bangunannya 6.065 m2, berbentuk cottage system (paviliun system) yang terdiri dari :
- 7 buah bangunan blok untuk penghuni
- 5 buah bangunan untuk kantor
- 1 buah aula seluas 300 m2
- 1 buah dapur seluas 200 m2
- 1 buah gudang seluas 86 m2
- I buah laboratorium kembang kering seluas 84 m2.
Dalam pelaksanaan kegiatannya sehari-hari Lapas Wanita Tangerang memiliki tugas untuk melaksanakan pembinaan Narapidana wanita dengan menjalankan fungsi-fungsi :
- Melakukan pembinaan terhadap narapidana wanita
- Memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola hasil kerja
- Melakukan bimbingan sosial kerohanian narapidana wanita
- Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib lembaga pemasyarakatan wanita tangerang
- Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga Lembaga pemasyarakatan Wanita Tangerang
Hingga april 2005 bangunan yang memiliki kapasitas huni 250 orang ini telah terisi sampai 348 orang plus satu orang anak narapidana, dengan rincian narapidana sejumlah 297 orang dan tahanan 51 orang. Dengan jumlah pegawai sebanyak 108 orang terdiri atas 60 penjaga (sipir) yang bertugas bergantian secara beregu, pagi, siang, malam, dan pada waktu istirahat. Serta 48 orang sebagai pejabat struktural dan staf ahli. Narapidana adalah warga binaan lapas wanita tangerang yang masa hukumannya telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, sedangkan tahanan adalah warga binaan yang masih berproses mengenai masa hukumannya.
Sebagian besar warga binaan terlibat dalam kasus narkoba, yaitu sekitar 63% sisanya adalah kasus-kasus pembunuhan, penipuan, penganiayaan, pencurian dan tindak pidana lainnya. Masa hukuman bagi tiap-tiap narapidana pun bervariasi, dari yang hanya beberapa bulan sampai dengan yang dikenakan hukuman mati, tercatat ada 6 orang terpidana mati yang akan menjalani hukumannya tahun ini yakni 2 orang warga negara asing dan 4 warga negara indonesia.

KEHIDUPAN WARGA BINAAN
Satu kalimat yang dilontarkan oleh sebagian besar warga binaan adalah “Disini enak mas, cuman engga bisa keluar aja”. Petikan kalimat tersebut menunukan bahwa kehidupan didalam penjara tidak jauh berbeda dengan kehidupan di luar penjara. Hasil pengamatan penulispun menunjukan hal yang sama, bahwa kehidupan dalam penjara memang tidak jauh berbeda dengan kehidupan di luar penjara, bahkan cenderung lebih menyenangkan kata sebagian narapidana.
Kehidupan warga binaan adalah cenderung teratur dan dikondisikan untuk selalu tertib dan disiplin. Terhadap mereka dilakukan pembinaan dan pelatihan. Pembinaan diarahkan kepada pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian.
Pembinaan Kepribadian yaitu pembinaan yang diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar narapidana dapat menjadi manusia seutuhnya, bertaqwa dan bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Dalam pelaksanaanya pihak lapas mengadakan kerjasama dengan Departemen Agama Tangerang, Dinas Pendidikan Tangerang, Yayasan Al-Azhar, Yayasan Media Insani, Gereja-gereja disekitar lapas. Kegiatan lainnya dalam pembinaan kepribadian adalah kegiatan olah raga yang dilakukan setiap hari serta olahraga-olahraga pilihan seperti volley, bulu tangkis, tenis meja yang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu.
Pembinaan Kemandirian yaitu pembinaan yang diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar narapidana dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab, dengan pelaksanaan kegiatan seperti menjahit, menyulam, keterampilan bunga kering, pembuatan tas motte, taplak meja, berkebun dan sebagainya.
Hasil dari keterampilan mereka dijual baik didalam lembaga ataupun saat mengadakan pameran-pameran di luar, demikian juga untuk keterampilan memasak pesanan nasi kotak dari luar dapat dipenuhi juga untuk mengisi kebutuhan koperasi lapas wanita tangerang. Selain kegiatan-kegiatan yang telah disebutkan diatas warga binaan juga diperkenankan untuk mengembangkan hobi mereka antara lain vokal group, tari jaipong, Band, kasidah, membaca buku di perpustakaan dan lainnya.
Menengok ke ruangan tempat warga binaan beristirahat amatlah menggelitik hati. Apa pasal? Ruangan mereka berukuran sangat kecil dengan kamar mandi yagn sempit pula, mungkin luasnya kamar mereka seluas kamar mandi anda?!! Bukan hanya sempit, bahkan kamar seperti itu banyak yang diisi oleh 3 sampai 5 orang, untuk mensiasati meledaknya jumlah penghuni lapas dari daya tampung 250 orang menjadi 348 orang.
Pola makan mereka juga cukup teratur, namun menu yang mereka terima tidak dekat dengan kata memadai dan cukup, namun hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar, jika melihat anggaran yang diberikan untuk operasional Lapas Wanita Tangerang. Sebagai perbandingan, untuk dana kesehatan yang dianggarkan oleh LP hanya sebesar Rp. 900.000,00 selama setahun atau Rp. 75.000,00 selama sebulan. Padahal jumlah warga binaan mencapai 300-an orang, hal tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan mereka sangat minim.
Lebih dalam menyelami jiwa para warga binaan, maka kita dapat melihat jauh kondisi kejiwaan mereka masing-masing. Penulis mengambil petikan hasil wawancara dengan salah seorang warga binaan sebagai berikut :
Sebut namanya Dita usia 22 tahun berasal dari daerah Mayesti jakarta Pusat. Alasan masuk lapas adalah karena terlibat kasus narkoba, Dita tertangkap tangan membawa 200 gram ectassy sepulang dari tempat kerjanya.
Tidak semuanya yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan ini karena keinginan pribadi atau berani mengambil resiko masuk kedalamnya atas tindakan yang disadarinya sendiri. Beragam modus dan motif sehingga mereka dipenjara di lapas wanita ini, motif ekonomi, pelarian hidup, bahkan sampai ketidak sengajaan mereka miliki.
Motif ekonomi karena kondisi lingkungan yang amat sulit untuk mencari penghidupan karena minimnya lapangan kerja sehingga menyebabkan orang gelap mata untuk terjun kedalam dunia narkoba. Sebagai tempat pelarian bagi mereka yang menjadi pemakai karena bagi sebagian mereka (narapidana) narkobalah sarana untuk menjadi pelepas himpitan perasaan, terlepas dari kondisi sosial dan ekonomi mereka. Yang selanjutnya adalah karena faktor ketidaksengajaan, banyak diantara warga binaan yang tidak menyadari bahwa narkobalah yang telah emngantarkan mereka ke balik jeruji besi.
Dita misalnya, dia tidak menyadari dan tidak mengetahui bahwa suatu sore sepulang kerja bungkusan berupa kado yang dititipkan seorang teman kepadanya adalah sepaket ectassy siap jual, yang oleh polisi telah lama menjadi intaian. Akhirnya ia pun harus rela dijemput oleh polisi ke lapas wanita tangerang tanpa pernah bisa menjelaskan dari mana asal muasal 200 gram ectassy tersebut kepada pihak yang berwajib.
Tuntutan 5 tahun penjara potong masa tahanan adalah ganjaran atas perbuatan yang tidak pernah ia lakukan, hal tersebut tentu saja menjadi hal yang tidak mengenakan dalam hidupnya. Ia menjalani hukuman atas hal yang tidak pernah ia lakukan. Namun apa lacur, nasi telah menjadi bubur itu yang ia pegang hingga berakhirnya masa tahanannya nopember mendatang. Dalama menjalani masa hukumannya, banyak kisah suka dan duka yang ia alami, suka tatkala hidup bersama secara kekeluargaan dengan warga binaan lainnya, duka tatkala ia hanyut atas peristiwa yang menimpa dirinya. Hal yang paling ia khawatirkan adalah pandangan masyarakat terhadap dirinya ketika ia bebas nanti, karena anggapan masyarakat saat ini yang cenderung streotipe terhadap bekas narapidana.

BAB III
ANALISA

KONDISI LINGKUNGAN YANG CENDERUNG TIDAK KONDUSIF
Spradley dalam teori perubahan budaya mengungkapkan bahwa setiap kebudayaan terdiri dari pengkategorisasian yang dapat dipakai untuk menyeleksi dan mengklarifikasi pengetahuan. Untuk itu segala yang berasal dari lingkungan sebenarnya dapat diseleksi dan diklarifikasi apakah itu benar atau tidak, bermanfaat atau tidak.
Kondisi umum lingkungan saat ini cenderung tidak kondusif, baik dilihat dari segi ekonomis, humanis maupun sosial relationship. Pengaruh budaya-budaya dari luar sangat kencang terasa dalam masyarakat, betapa budaya masyarakat kita yang cenderung sopan, kekeluargaan dan penuh dengan kegotongroyongan diserbu oleh budaya-budaya yang datang dari luar yang menanamkan nilai-nilai individualis, permisiv dan liberalis.
Tidak disangkal lagi faktor ekonomi telah banyak memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap perubahan budaya, terutama pada masyarakat kita yang sebagian besar berada dalam himpitan ekonomi. Dalam kasus-kasus yang menimpa warga binaan di lembaga pemasyarakatan wanita tangerang terlihat sebagian besar bermula dari keadaan ekonomi yang morat marit, banyak yang memiliki motif sebagai pengedar dan penjual narkoba karena ketidakmampuan untuk membiayai hidup, membiayai anak sekolah dan alasan ekonomi lainnya.
Pada kondisi demikian, memang amatlah mudah terjadi penyimpangan-penyimpangan. Segala yang berhubungan dengan perut sangat potensial untuk menjadi pemicu munculnya masalah-masalah sosial. Pergeseran budaya akibat masalah sosial ekonomi cenderung kearah yang negatif, untuk itu diperlukan suatu lingkungan yang kondusif untuk mengarahkan perubahan budaya ke arah yang positif. Kondisi lingkungan tidak melulu mempengaruhi prilaku individu-individu, namun prilaku individu-individu mampu menciptakan kondisi lingkungan yang lebih baik, seingga berlaku efek saling mempengaruhi.
Individu-individu yang dalam kondisi kondusif (dalam hal ini cenderung kepada perbuatan positif) mampu memberikan sumbangsih lebih besar terhadap lingkungannya yang pada akhirnya mampu mengaplikasikan budaya sebagai penyeleksi dan pengklarifikasi pengetahuan.

KONDISI INTERNAL MANUSIA YANG TIDAK STABIL
Taylor dalam Unbalance Theory, menyatakan “Satu individu yang tidak seimbang akan mengalami tekanan-tekanan yang luar biasa”. Tekanan-tekanan datang karena kondisi internal individu yang tidak stabil, beragam masalah yang muncul kepada individu dapat memicu terjadinya ketidakseimbangan tersebut. Seringnya masalah muncul tanpa dapat teratasi oleh individu akan menyebabkan tekanan yang dahsyat pada jiwa atau mental individu tersebut. Apalagi bila masalah itu muncul silih berganti tanpa ada penyelesaian maka sudah barang tentu akan menyebabkan jiwa individu tersebut menjadi labil.
Bahkan jika kemunculan masalah tersebut telah mencapai titik puncak, pada satu titik kosong (blank point) maka akan mengakibatkan seseorang bertindak diluar kendali pikirannya sendiri. Inilah yang menyebabkan terjadinya kasus-kasus diluar pikiran manusia sebelumnya, seperti bunuh diri, mutilasi, pembunuhan atau lainnya.
High tension akibat masalah-masalah yang timbul dari tekanan budaya, pressure masyarakat, tekanan sosial ataupun akibat kriminal sebenarnya dapat direduksi melalui proses yang disebut Reduction Intension. Pada individu-individu yang berada dalam lembaga pemasyarakatan wanita tangerang terlihat kondisi internal jiwa mereka yang tidak stabil entah karena banyak hal yang menyebabkan mereka berlaku seperti itu, sebagai contoh misalnya sikap mereka terhadap tamu atau pengunjung lapas mereka bersikap manis seolah-olah tidak terjadi apa-apa pada diri mereka, padahal pada suatu saat tertentu mereka akan menunjukan kerapuhan jiwa mereka, melaui jeritan, tangisan ataupun hal lain.
Sudah menjadi tindakan yang tepat, dalam Lapas diadakan kegiatan-kegiatan kerohanian yang bernuansa religi, karena tidak disangkal lagi bahwa agamalah yang mampu mendekatkan atau mejadikan manusia hidup dalam ketenangan.

AKIBAT-AKIBAT YANG DITIMBULKAN
Perubahan budaya secara nyata berakibat pada perubahan-perubahan diri individu, baik yang berlaku langsung ataupun dalam tempo yang relatif lama, langsung karena suatu perubahan budaya langsung mengubah individu yang bersangkutan, misal perubahan budaya yang ditemui ketika seseorang masuk ke dalam penjara. Secara tidak langsung jika kita perhatikan perubahan budaya yang menimpa bangsa ini secara makro adalah perubahan yang berlangsung secara perlahan.
Dalam kasus yang menimpa Dita atau narapidana-narapidana lainnya, terlihat fenomena yang amat mengiris hati, betapa budaya masyarakat dimana mereka berada, masih memandang bahwa bekas narapidana adalah jahat dan jelek di mata mereka. Mereka tak mau melihat proses apa yang telah mereka habiskan di dalam penjara, bagi mereka setiap narapidana adalah jahat dan harus dijauhkan dari lingkungan mereka. Dita sampai saat ini masih gamang apakah keluarganya kelak akan menerima ia seperti dahulu atau tidak.
Bahkan tidak hanya masyarakat luas yang memiliki pandangan seperti itu, keluarga mereka sendiri pun tak jarang yang memiliki sikap seperti itu, sehingga terkadang mereka tak berani untuk pulang kerumahnya sendiri karena bagi keluarga mereka penjara adalah aib yang mesti dihilangkan dari mereka.
Terlepas dari itu, seharusnya masyarakat atau keluarga terdekat lah yang mestinya memiliki peranan lebih besar dalam pembangunan mental individu tersebut ke arah yang lebih baik. Sebaiknya keluarga berperan aktif dalam menunjang pengembalian jiwa mereka kearah yang lebih baik setelah lama tinggal dalam penjara.
Jika keluarga dan masyarakat melakukan hal tersebut maka kekhawatiran untuk kembali kemasyarakat yang selama ini di khawatirkan oleh para narapidana akan lenyap, sehingga akan tercipta tata hubungan sosial baru yang mengarah kepada pembangunan masyarakat yang kondusif terhadap perubahan budaya. Jika hal ini terwujud maka penciptaan ke arah lingkungan yang kondusif pasca penjara tak akan terhalangi, karena individu yang bersangkutan akan menggunakan peta pengetahuan yang ia miliki untuk menginterprestaikan prilaku dan kejadian yang pernah ia alami, tentunya segala hal baik yang ia peroleh tatkala berada dalam lembaga pemasyarakatan akan ia terapkan dalam kehidupannya di masyarakat.


BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan ke Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, serta dipaparkan melalui sebuah ulasan singkat mengenai permasalahan yang terjadi dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang adalah salah satu lembaga pemasyarakatan wanita diantara empat lembaga serupa yang terdapat di indonesia
Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu pranata pelaksana pembinaan kemandirian dan kepribadian terhadap narapidana
Manusia sebagai subjek dan objek dalam ilmu antropologi adalah mahluk yang unik karena memiliki kecerdasan dan kemauan yang tidak dimiliki mahluk lain.
Perubahan budaya terjadi akibat kondisi lingkungan yang cenderung tidak kondusif dan kondisi internal manusia yang tidak stabil
Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perubahan budaya, khususnya yang terjadi dan dialami oleh Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang perlu mendapat perhatian khusus dari anggota keluarga dan masyarakat
Imej atau kesan yang diberikan masyarakat, terhadap narapidana yang baru keluar dari lembaga pemasyarakatan tergolong jelek, oleh karena itu diperlukan sikap mental yang ksatria untuk mau menerima mereka.
SARAN
Setelah melalui serangkaian uraian dan simpulan penulis berkeinginan untuk memberikan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat sebagai berikut :
1. Pemerintah hendaknya lebih memperhatikan keadaan lembaga pemasyarakatan-lembaga pemasyarakatan di indonesia, hal tersebut diwujudkan melalui penambahan besaran anggaran operasional lembaga tersebut.
2. Peran serta masyarakat dalam mengembalikan rasa percaya diri mantan narapidana dalam mengarungi kehidupan bermasyarakat perlu ditingkatkan, minimal dengan tidak memandang mantan narapidana adalah jahat, sehingga setiap anggota masyarakat dapat bertindak lebih bijaksana.
3. Setiap individu agar mampu menyeimbangkan segala pikiran yang ada di kepalanya sehingga tidak banyak terjadi tekanan yang pada akhirnya menyebabkan kehilangan keseimbangan
DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, 1980
Harsojo, Prof, Pengantar Antropolog , Binacipta, Bandung, 1967

No comments:

Post a Comment